-->

Hati Dalam Dusta

Tuesday, January 19, 2016

Hati Dalam Dusta

Cerpen Karangan : Paskal Gameryo

Berpura-pura untuk cinta sama saja membunuh hati secara perlahan

“Gue pembunuh! Gue pembunuh! Gue Pembunuh!” Kia memukul-mukul gundukan tanah yang bertaburan bunga di bawah rintik hujan yang kian lama membasahi tudung hitam yang membalut rambutnya. “Seandainya gue tahu akhirnya bakal begini. Gue nggak akan melakukan perbuatan keji ini. Sial! Gue pembunuh, Maafin gue, gue emang b*ngsat!” Kia menghempaskan tubuhnya ke gundukan tanah yang kotor dan membuat wajahnya yang cantik seketika berubah cokelat karena tanah liat. Air matanya begitu deras mengucur mengalahkan kecepatan air hujan yang semakin deras.

Tito berdiri tegak sambil memegang payung di belakang Kia melihat cewek itu yang terus-menerus meraung tak keruan menyesali perbuatannya. Ia sangat mengerti dan tahu bahwa Kia bukanlah seorang pembunuh. Kia hanyalah seorang cewek yang tak mengerti apa artinya sebuah keberadaan.

“Selama lo menangis dan meraung kayak orang gila begitu, dia nggak akan bangun lagi. Lo buang-buang waktu di sini. Lo justru menyulitkan dia untuk pergi menghadap Tuhan. Gue yakin dia akan tersenyum jika melihat lo menerima kepergiannya. Tapi kalau lo terus-menerus menangis dan menyalahkan diri lo sendiri, gue yakin, dia sangat marah pada lo!” Ujar Tito tegas memberikan keyakinan kepada Kia untuk berhenti meratapi kepergian Iko.

“Tangisan lo sama saja penderitaannya. Dia sayang sama lo. Dia nggak mau ngelihat orang yang disayangnya menangis apalagi sampai meraung seperti serigala kayak gini. Lo ngaca deh, muka lo udah nggak keruan, mata lo sembab, merah, kantung mata lo hitam, kayak monster!! Lo mau dia nangis di dalam kubur karena melihat lo begini? Hah?!” dengus Tito lalu membalikkan tubuhnya berancang-ancang untuk pergi.

“kalau lo masih mau di sini. Silahkan. Tapi gue nggak tega ngelihat dia menderita karena sifat lo yang kayak gini.” Tito melangkah pergi meninggalkan Kia yang masih sesak menangis di atas gundukan tanah, tempat bersemayamnya orang yang dicintai Kia.



Malam pergantian tahun yang sudah ditunggu-tunggu Iko kini telah hadir. Betapa senangnya Iko menyambut pergantian tahun 2015 ke tahun 2016. Resolusi di tahun 2015 yang belum tercapai kini menjadi lanjutan resolusi di tahun yang baru. Serta harapannya ingin bermalam tahun baruan bersama Kia kini segera terealisasi. Iko begitu antusias menyambut malam spesial ini.

Setelah mandi, memakai kemeja kotak-kotak berwarna dominan biru serta kombinasi putih dan hitam, celana jeans, rambut disisir lalu diacak-acak lagi, dan tidak lupa memakai parfum. Sebelum beranjak dari kamar, Iko pastikan sekali lagi di depan cermin, menatap sekujur tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala, lalu tersenyum miring. Sambil menyisir rambutnya dengan jari dan memiringkan alis sebelah kanan Iko mengucap, “Ganteng juga gue.”

Iko menekan bel yang berada di samping gerbang. Lalu Iko berjinjit di depan gerbang berharap cewek yang ditunggunya segera ke luar dari balik pintu. Tak ada jawaban selama Iko tiga kali menekan bel, sebelum bel ke empatnya ditekan, cewek yang ditunggunya akhirnya ke luar dengan cantik seperti cinderalla di cerita dongeng. Meski tidak memakai gaun dari bidadari dan kendaraan labu atau apalah, Ika ke luar rumah disambut dengan senyuman Iko.

Dengan stelan hoodie merah marun, celana jeans yang dilipat di ujungnya dan sepatu converse abu-abu, membuat Kia terlihat casual. Inilah yang disukai oleh Iko dari penampilan Kia yang tidak terlalu ribet. Karena Iko tidak suka dengan perempuan yang penuh dengan gaya bak ratu tidur. Pakai gaun panjangnya sepanjang tol jagorawi atau mengharuskan cowoknya memakai jas. Itulah alasan kenapa Iko nyaman dan sangatlah suka dengan Kia.

“Maaf ya gue kelamaan dandannya hehehe.” Kia tersenyum merasa bersalah.
“Nggak apa-apa kok selow aja kali. Mau lima puluh tahun lamanya juga gue jabanin hahaha.”
“Ah bisa aje lo.” Kia menodorong bahu Iko seraya tersenyum melihat tingkah Iko yang kian lama membuat hatinya berdegup kencang.

Dengan motor matic milik Iko, mereka berdua menyusuri jalanan Ibukota yang gemerlap cahaya lampu jalan serta tingginya gedung-gedung pencakar langit. Sorot lampu jalan menerangi mereka berdua, seakan mereka berdua adalah pemeran romeo dan Juliet di sebuah drama panggung yang ditonton oleh khalayak ramai. Perjalanan mereka berujung di sebuah pancuran yang menjadi ikon metropolitannya Jakarta. Yaitu, bundaran HI. Di pinggiran jalan HI mereka duduk di atas motor bercengkerama, tawa selalu menyertakan di setiap obrolan mereka, sambil menikmati jagung bakar mereka menanti waktu yang telah ditunggu-tunggu oleh orang-orang di seluruh dunia. Tepat pukul 00.00 hari pergantian tahun.

“Tahun depan resolusi lo apa? “Tanya Kia lalu mengigit biji-biji jagung yang berwarna hitam dan kuning.
“Hmm.. rahasia.” ledek Iko.
“Yeee dasar. Jawab nggak lo!!” Paksa Kia sembari membuat gaya seakan ingin memukul Iko dengan jagung yang sudah dimakannya.
“Iyaa.. iyaa gue jawab. Baperan sih weeee.” Iko menjulurkan lidahnya lalu ia memalingkan tatapannya ke arah pancuran air di bundaran HI. Tatapannya fokus ke aliran air tersebut lalu ia tersenyum dan menyodorkan wajahnya ke wajah Kia. Kini wajah mereka berjarak hanya sejengkal, “Resolusi gue tahun depan cukup lo jadi pacar gue hahaha.”

Ucapan Iko yang terkesan bercanda justru membuat Kia terdiam seribu bahasa. Tak ada senyum yang terlukis di wajahnya. Hanya ada raut wajah yang datar tanpa warna di sana. Tatapan Kia kosong tak berisi apa pun, Kia seperti terisi oleh makhluk halus di acara Dunia Lain. Sikapnya yang tiba-tiba berubah seperti orang kesambet, membuat Iko panik. Ia pun menghentak-hentak tubuh Kia.

“Ki..Kiaaaa.. Lo nggak apa-apa kan?” tanya Iko risau.
Kia tersadar dalam goncangan tangan Iko di lengannya, “Gue nggak apa-apa kok hehehe. Ihh lihat tuh kembang apinya bagus banget.” Kia menunjuk ke arah langit yang dihiasi warna-warni kembang api.

Senyum lalu tergambar di wajahnya, Iko pun demikian. Mereka saling tersenyum melihat riuh rendahnya ledakan dan lukisan kembang api di langit gelap malam ini. Di balik semua itu ada sebuah rahasia yang membuat Kia bimbang dalam menjalani hidupnya saat ini. Sebuah kesalahan yang seharusnya tidak ia lakukan. Kesalahan besar. Hatinya seperti meledak-ledak layaknya kembang api. Sama tapi beda, ledakan kembang api yang indah sangatlah berbeda dengan ledakan kekhawatiran hati Kia yang carut marut tak keruan.



“Hah? lo jalan sama Iko? Gue pikir lo cuma nggak enak sama dia gara-gara dia sering nembak lo terus nggak lo terima-terima.” Ujar Reni kaget setelah mereka ke luar dari toilet.
“Gue sih sebenarnya emang nggak suka sama dia, tapi mau gimana lagi ya, ren. Dia tuh orangnya udah baik banget ke gue, guenya juga nggak enak kalau harus ninggalin dia tiba-tiba apalagi harus bilang kalau gue emang terpaksa jalan sama dia.” Sahut Kia sambil mengikat rambutnya dengan karet berwarna merah pemberian Iko.
“Terus.. terus gimana dong kalau dia bener-bener jatuh cinta sama lo. Jangan bikin orang sampe tergila-gila sama lo, Ki. Entar kalau lo tinggal, bisa gila tuh Iko.”

Kia menepuk pundak Reni. Mereka berdua berhenti sejenak, “Tenang aja Reniku sayang. Gue nggak sejahat itu kok. Setelah selama ini gue jalanin kepura-puraan gue dengan Iko, ternyata Iko tuh orangnya asyik dan gue—” Kia membisikkan kata-katanya di telinga Reni yang membuat Reni awalnya kaget lalu berubah menjadi kepanikan setelah menengok ke belakang tubuhnya ternyata Iko sudah berada di balik tubuh mereka berdua selama percakapan mereka tentang cowok itu berlangsung.

Iko berdiri gagah di sana dengan tatapan bengis. Hatinya hancur ketika mendengar pernyataan Kia barusan. Padahal semua harapan dan cintanya sudah diletakkan tepat di hati Kia selama ini. Cewek yang diharapkannya kan menjadi pacarnya ternyata menyimpan sebuah kepura-puraan selama ini. Selama ini ternyata hanya semu yang dirasakan Iko. Semua kasih sayang, kata-kata cinta yang terlontar dari Kia ternyata hanya bayangan bukanlah nyata. Harapan yang diinginkan Iko kepada Kia ternyata palsu, semua tak akan terwujud.

“Gue udah tahu semuanya.” Iko tersenyum, menjadikan senyumannya sebagai topeng kemarahannya terhadap Kia.
“Iko, kok kamu di sini?” Kia bingung harus berkata apa lagi tapi dia mencoba menjelaskan. “Ini nggak seperti yang kamu dengar tadi, sebenarnya aku say—” ucapannya terpotong oleh Iko.
“Cukup!!” Teriak Iko membuat Kia dan Reni mundur satu langkah karena takut. “Lo nggak usah takut begitu, Ki. Gue cuma mau ngasih tahu ke lo kalau gue bukan orang yang haus akan cinta. Gue nggak butuh keberadaan orang yang nggak benar-benar mencintai gue. Selama ini gue memang sayang sama lo, gue cinta sama lo, dan bahkan dengan bodohnya gue berharap lo akan menjadi milik gue.”

Iko menghela napas panjang menahan sesak yang mendera hati. Iko mencoba menyeimbangkan kemarahannya dengan ketenangannya dalam berbicara, “Ternyata selama ini gue mencintai orang yang salah. Orang yang berpura-pura dengan sandiwaranya membuat adegan dengan sempurna di hadapan gue. Gobloknya gue adalah gue sebagai penonton sangatlah terkesima melihat adegan bodoh lo itu. Gue terhipnotis dengan kemampuan lo saat berdrama.” Iko bertepuk tangan, Kia hanya bisa menunduk melihat lantai.

“Selamat Kia, drama lo selesai di sini. Gue sebagai penonton cukup kagum dengan penampilan lo selama ini. Semoga Tuhan memberi berkah dengan kemampuan drama lo ini. Mungkin setelah lulus nanti, lo bisa gantiin Luna Maya di dunia sandiwara hahaha.” Ujar Iko sarkas lalu pergi meninggalkan Kia. Sebelum langkahnya menjauh dari Kia, Iko berhenti lalu berbalik menatap lekat mata Kia yang tak lagi menunduk.

“Berengsek!”

Iko pergi, langkahnya tak sadar ditemani air bening dari pelupuk mata. Ia tak mau dilihat seseorang kalau dia sedang menangis hanya karena cewek berengsek yang mempermainkan hatinya. Di sisi lain, Kia salah. Waktu dan tempat tidaklah tepat baginya. Sesungguhnya apa yang dikatakan Kia tadi benar adanya, ia sangatlah tidak ingin didekati ataupun ingin menolak kehadiran Iko. Namun, hati berkata lain. Semakin lama hati bertemu, semakin banyak butir-butir cinta yang tumbuh membentuk rasa sayang. Begitulah yang dirasakan Kia, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ikolah bagian dari hatinya. Sayangnya, Iko sudah terlanjur marah kepadanya.



Dua hari Iko tidak masuk sekolah membuat Kia risau. Dia pikir mungkin Iko sedang sakit atau cabut sekolah karena tidak ingin bertemu dengannya. Namun, Iko bukanlah orang yang sangat bodoh dan gila karena cinta sampai tidak sekolah karena ingin menghindari Kia. Setelah bel masuk berbunyi, siswa-siswi memasuki kelas dengan teratur. Sebelum pelajaran dimulai, terdengar suara ketukan mik dari speaker di ujung ruang kelas.

“Tes.. Tes..” suara guru BK di balik speaker hitam yang bergantung, “Innalillahi wa innaillahi rojiun. Kabar duka cita bagi kita semua atas meninggalnya salah satu keluarga kita ananda Federiko Kalama tadi pagi—”

Suara dari speaker tersebut seketika senyap di telinga Kia. Dia tidak bisa percaya dengan kenyataan ini. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Pertanyaan tersebut terus bertubi-tubi mengerubungi otak Kia. Dia seperti orang gila yang kacau. Wajahnya ia benamkan ke permukaan meja, rambutnya ia gosok-gosok dengan telapak tangannya hingga membuatnya kacau balau. Hatinya hancur seketika berkeping-keping seperti pecahan gelas.

“Nggak mungkin! Nggak mungkin Iko meninggal. Iko nggak boleh meninggal!! Iko jangan tinggalin gueeeeee!!” Tiba-tiba Kia berteriak uring-uringan di kursinya. Ia berdiri lalu berlari ke luar kelas.

Reni yang duduk di sampingnya dan dibantu teman sekelasnya dengan sigap mengejar Kia yang berteriak seperti orang tidak waras. Dengan kekuatan dari lima anak laki-laki di kelas, Kia akhirnya berhenti meraung-raung. Dia dibawa ke ruang UKS untuk meredam kekacauan hatinya yang kalut karena ditinggal Iko. Bunyi decikan pintu mengalihkan perhatian Reni yang sedang menjaga Kia. Sumber suara tersebut ternyata diciptakan oleh Tito, teman baik Iko.

“Iko nitipin ini.” Tito menyodorkan gelang yang bertuliskan Iko ke Kia.
“Makasih ya, to.” Kia menerima gelang yang diberikan Tito itu, lalu dipakainya di tangan kanannya.
Tak kuasa air mata Kia lagi-lagi berjatuhan membasahi tangan dan gelang pemberian Iko.

“Gue yakin, Iko pasti seneng ngelihat gelang yang dibuatnya udah dipake sama orang yang disayanginya.” ujar Reni seraya tersenyum ke arah Kia. Kia pun tertunduk menatap lekat gelang yang bertuliskan nama IKO. Tak sadar tatapannya membuahkan senyum yang indah di wajahnya.